Pages

Tugas 1 Softskill Asuransi dan Manajemen Resiko

Selasa, 22 Januari 2019

ESSAY TENTANG PERKEMBANGAN ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA


“Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia”

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resiko dimasa datang dapat terjadi terhadap kehidupan sesorang misalnya kematian, sakit atau resiko dipecat dari pekerjaannya. Dalam dunia bisnis resiko yang dihadapi dapat berupa resiko kerugian akibat kebakaran, kerusakan atau kehilangan atau resiko lainnya. Oleh karena itu setiap resiko yang akan dihadapi harus ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.
Untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan dimasa yang akan datang, seperti resiko kehilangan, resiko kebakaran, resiko macetnya pinjaman kredit bank atau resiko laiinnya, maka diprlukan perusahaan yang mau menanggung resiko tersebut. Adalah perusahaan asuransi yang mau menanggung resiko yang akan dihadapi oleh nasabahnya baik perorangan maupun badan usaha. Hal ini disebabkan perusahaan asuransi merupakan perusahaan yang melakukan usaha pertanggung jawaban terhadap resiko yang akan dihadapi oleh nasabahnya.
Dalam hal ini, asuransi terbagi menjadi beberapa macam jenis. Salah satunya adalah Asuransi Syariah. Asuransi Syariah tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah. Walaupun demikian, banyak masyarakat yang belum memahami apa dan bagaimana asuransi Syariah tersebut. Hal ini membutuhkan suatu informasi yang komprehensif untuk memberikan pemahaman kepada khalayak umum agar tidak terdapat pemahaman yang keliru atas asuransi Syariah. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara menyeluruh tentang asuransi Syariah yang mencakup tentang sejarah asuransi Syariah di dunia, perkembangan asuransi Islam di Indonesia, dan perbedaannya dengan asuransi konvensional.



PEMBAHASAN
Tinjauan Pustaka
2.1 Sejarah Asuransi Syariah
Kata “asuransi” berasal dari bahasa Belanda ‘assurantie’ yang dalam hukum Belanda disebut verzekering bermakna ‘pertanggungan’. Dari peristilahan assurantie, kemudian muncul istilah assuradeur bagi ‘penanggung’ dan greassureerde bagi’ tertanggung’. Dalam bahasa Inggris asuransi diistilahkan dengan insurance, ‘penanggung’ diistilahkan dengan insurer dan ‘tertanggung’ diistilahkan dengan
insured.

Istilah asuransi mulanya dikenal di Eropa Barat pada abad pertengahan berupa asuransi kebakaran. Kemudian, pada abad ke-13 dan ke-14 terjadi peningkatan lalu lintas perhubungan laut antar pulau sehingga berkembang pula asuransi pengangkutan laut yang berasal dari Romawi. Jenis asuransi ini merupakan jenis asuransi kapitalis. Asuransi ini dibentuk untuk mendapatkan laba dan didasarkan atas perhitungan niaga. Asuransi jiwa baru dikenal pada awal abad ke-19.

Asal-usul asuransi syariah berbeda dengan kemunculan asuransi konvensional seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Praktik bernuansa asuransi tumbuh dari budaya suku Arab pada zaman Nabi Muhammad saw yang disebut aqilah. Al-Aqilah mengandung pengertian saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga. Dalam kasus terbunuhnya seorang anggota keluarga, ahli waris korban akan mendapatkan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh angota keluarga terdekat dari si pembunuh yang disebut aqilah. Aqilah mengumpulkan dana secara bergotong royong untuk membantu keluarga yang terlibat dalam perkara pembunuhan yang tidak sengaja itu.

Dalam satu kasus tentang aqilah ini, Nabi Muhammad saw pernah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, yang artinya adalah sebagai berikut.

Dari Abu Hurairah ra: “Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail,

kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu kepada wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw maka Rasulullah memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin adalah dengan membebaskan seorang budak laki-laki atau wanita. Dan kompensasi

atas kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki).’ (HR
Bukhari)

Praktik aqilah ini pada zaman Rasulullah saw tetap diterima oleh masyarakat Islam dan menjadi bagian dari hukum Islam. Terdapat kemungkinan seseorang secara tidak sengaja mencelakai orang lain hingga meninggal dunia. Kemudian, keluarga orang tersebut mengumpulkan dana untuk digunakan sebagai kompensasi finansial kepada ahli waris korban sehingga masalah kecelakaan ini dianggap selesai antar keluarga. Prinsip aqilah memang didasarkan kepada kejadian tidak disengaja atau kekeliruan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang sehingga yang lain (aqilah) menanggung beban kompensasi terhadap ahli waris korban. Beban kompensasi tidak ditanggung oleh si pembuat kekeliruan.
Menurut Buku Dictionary of Islam yang ditulis oleh Thomas Patrick jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, maka pewaris kurban akan dibayar sejumlah uang darah atau yang dikenal sebagai diyat. Diyat ini digunakan sebagai kompensasi dari keluarga terdekat si pembunuh. Al-aqila adalah denda sedangkan makna al’aqil adalah orang yang membayar denda.. Beberapa ketentuan sistem aqilah yang merupakan bagian dari asuransi sosial dituangkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama di dunia setelah hijrah ke Madinah. Pasal 3 Konstitusi Madinah menyebutkan bahwa orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka. Jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan keluarga pembunuh, yang disebut sebagai aqilah.

Praktik aqilah tersebut memiliki kemiripan konsep dengan praktik asuransi Islam yang pertama kali dibentuk. Praktik asuransi Islami berawal pada pendapat Dewan Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Arab Saudi, yang menyetujui adanya “asuransi koperatif”. Organisasi asuransi atas dasar koperatif dimotivasi oleh sebab yang sama dan pada hakikatnya mengikuti perkembangan yang sama baik di zaman modern, maupun di zaman kuno. Suatu Negara Islam seharusnya menganjurkan pembentukan suatu industri asuransi yang dimotivasi oleh jiwa koperatif karena gagasan koperatif diakui dalam Islam.

Dalam sistem asuransi koperatif, para penyumbang dana asuransi adalah para dermawan, dan sumbangan mereka adalah donasi, dengan tujuan menanggung kerugian yang menimpa siapa saja dari para penyumbang itu secara bersama-sama. Kompensasi yang diberikan bertalian dengan kerugian yang diderita dan bukan suatu jumlah tertentu yang disetujui antara pengasuransi dan yang diasuransikan pada waktu perjanjian dibuat.

Pada dekade 70-an di beberapa Negara Islam atau di Negara-negara yang mayoritas penduduknya penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsure yang diharamkan Islam.
Pada tahun 1979 “Faisal Islamic Bank of Sudan” mengambil prakarsa untuk mendirikan Perusahaan Asuransi atas dasar koperatif yang bernama di Sudan. Perusahaan tersebut mengasuransikan usaha berikut ini, kecuali asuransi jiwa.

1.      Asuransi Muatan Laut
2.      Asuransi Kapal
3.      Kebakaran dan Pencurian
4.      Penerbangan
5.      Kecelakaan Pribadi
6.      Rekayasa
7.      Ganti rugi para pekerja

Islamic Insurance Co. Ltd tersebut menyelenggarakan dua akun yang terpisah dan berbeda yaitu akun pertama adalah akun pemegang polis dan akun kedua adalah akun pemegang saham. Akun para pemegang polis dimasukkan dalam kredit beserta semua iuran mereka, dengan mempertimbangkan perlindungan asuransi ditambah dengan keuntungan yang diterima pada investasi sumbangannya, dan didebitkan dengan proporsi beban jasa dan klaim. Kelebihan yang ada setelah menyiapkan cadangan yang diperlukan, dibagikan di antara para pemegang polis, sebanding dengan iuran yang mereka bayar. Para pemegang saham perusahaan tidak turut serta dalam suatu bagian pun dari kelebihan akun pemegang polis itu. Pendapatan yang diperolah dari investasi modal saja dikreditkan pada akun pemegang saham. Bila ada kelebihan yang tersisa sesudah membayar bagian pengeluaran pemegang saham untuk masa yang tertentu, maka kelebihan ini dapat dibagi antar pemegang saham (Mannan, 1993).

Perusahaan tersebut telah membuat banyak kemajuan dalam jangka waktu lima tahun dan telah mampu mendirikan beberapa cabang di Arab Saudi yang bernama Islamic Insurance Co. Ltd dan di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islam di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983. Syarikat Takaful Nerhad di Malaysia berdiri pada tahun 1984. Di Asia, asuransi syariah pertama kali diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa bernama Takaful Malaysia, selanjutnya diikuti oleh Negara-negara lain seperti Brunei, Singapura, dan Indonesia (Mannan, 1993).

2.2 Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia
Keberadaan usaha asuransi syariah tidak lepas dari keberadaan usaha asuransi konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujud usaha perasuransian syariah sudah terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah lama berkembang. Atas dasar keyakinan umat Islam dunia dan manfaat yang diperoleh melalui konsep asuransi syariah, maka lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan ini bukan saja dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan miliki non muslim. Selain itu juga terdapat perusahaan induk dengan konsep konvensional ikut memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cvabag atau unit usaha syariah (UUS).

Perkembangan perusahaan asuransi berlandaskan Islam di Indonesia terkait dengan beroperasinya bank syariah sehingga diperlukan kehadiran jasa asuransi syariah. Perusahaan asuransi syariah pertama kali didirikan pada tahun 1994 melalui PT Syarikat Takaful Indonesia (STI). PT STI memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) dan PT Asuransi Takaful Umum (ATU). Menurut data pemerintah BAPEPAM LK2 Kementrian Republik Indonesia, sampai dengan tanggal 31 Januari 2011, di Indonesia terdapat 44 perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian syariah, lima diantaranya merupakan asuransi syariah penuh (full Islamic insurance system), yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK), PT Asuransi Takaful Umum (ATU), dan PT Asuransi Syariah Mubarakah (ASM), PT Jaya Proteksi Takaful, dan PT Asuransi Jiwa Al-Amin, sedangkan 37 unit asuransi syariah (UUS), dan tiga perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah. Kondisi ini menunjukkan bisnis asuransi syariah di Indonesia mulai ditekuni secara serius. Permintaan asuransi syariah di masyarakat sudah meningkat yang dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai terbiasa untuk bertransaksi dengan menggunakan syariah Islami.
2.3 Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Perbedaan asuransi Islam dan asuransi konvensional dikaji dalam tiga bagian yaitu perbedaan konsep fundamental, perbedaan pengelolaan risiko, dan perbedaan prinsip-prinsip. Berikut penjabaran dari masing-masing bagian perbedaan tersebut.

A.     Perbedaan Konsep Fundamental
Konsep fundamental asuransi syariah dan asuransi konvensional adalah berbeda. Konsep tersebut perlu dikaji di awal karena jika tidak dipahami konsep fundamental asuransi syariah maka konsep fundamental asuransi syariah dianggap sama dengan asuransi konvensional. Konsep fundamental yang diulas dalam makalah ini adalah pengertian atau definisi dan sistem pengelolaan risiko dari kedua jenis asuransi tersebut.

Dewan Syariah Nasional MUI menetapkan pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful,atau tadhamun) sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui dana investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah (fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah). Berdasarkan fatwa DSN MUI tersebut dapat diartikan bahwa konsep fundamental asuransi syariah adalah kegiatan tolong menolong diantara peserta asuransi syariah dan tidak bertujuan komersil. Sementara itu, konsep dasar asuransi konvensional adalah jual beli antara peserta dan perusahaan. Hal ini dapat dipahami dari arti asuransi secara umum yang berarti “jaminan”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata ‘asuransi’ adalah ‘pertanggungan’. Definisi standar asuransi dijelaskan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa konsep fundamental asuransi konvensional adalah jual beli antara peserta dengan perusahaan asuransi.

B.      Perbedaan Pengelolaan Risiko
Perbedaan konsep dasar asuransi syariah dengan asuransi konvensional ini berakibat pada perbedaan prinsip pengelolaan risiko. Prinsip pengelolan risiko asuransi syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yaitu risiko ditanggung bersama sesama peserta asuransi. Hal ini bisa dimaknai dari fatwa DSN MUI bahwa asuransi syariah adalah kegiatan melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak yang berarti risiko yang terjadi juga akan dibagi kepada semua peserta asuransi syariah. Sementara itu prinsip pengelolaan risiko asuransi konvensional adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu prinsip risiko dengan cara mentransfer atau memindahkan risiko peserta asuransi ke perusahaan asuransi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumanto dkk (2009) yang menyatakan bahwa asuransi konvensional pada dasarnya merupakan konsep pengelolaan risiko dengan cara mengalihkan risiko yang mungkin timbul dari peristiwa tertentu yang tidak diharapkan kepada orang lain yang sanggup mengganti kerugian yang diderita dengan imbalan premi (Sumanto dkk, 2009).


C.      Perbedaan Prinsip-prinsip Pengelolaan Asuransi
Menurut Amrin (2011), pengelolaan asuransi syariah menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.

a.      Prinsip Tauhid
Setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan, tidak terkecuali dalam berasuransi syariah. Dimana dalam niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Jika dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan dan peluang pasar namun lebih dari itu. Niat awal adalah implementasi nilai syariah dalam dunia asuransi. Dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, nilai tauhid terimplementasi pada industri asuransi syariah.

b.      Prinsip Keadilan
Perusahaan asuransi memiliki peluang besar untuk melakukan ketidakadilan, seperti adanya unsur dana hangus (untuk produk tabungan), karena pembatalan kepesertaan di tengah jalan oleh nasabah. Pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya. Bahkan beberapa perusahaan asuransi syariah menyerahkan ke lembaga kesejahteraan umat seperti lembaga zakat, infaq, dan shodaqah, ketika terdapat dana-dana saving nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu tidak mengambil dananya kendatipun telah dihubungi baik melalui surat maupun media lainnya.

c.       Prinsip Tolong Menolong
Hakekat konsep asuransi syariah adalah tolong menolong, dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan peserta lain yang tertimpa musibah. Peserta tidak berderma kepada perusahaan asuransi, peserta berderma hanya kepada sesame peserta saja. Perusahaan hanya berfungsi sebagai pengelola dana tabarru, konsekuensinya perusahaan tidak berhak menggunakan dana tabarru’ atau mengklaim bahwa dana tabarru’ adalah milik perusahaan. Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee) atas jasanya mengelola dana tabarru’ tersebut. Perusahaan asuransi mengelola dana tabarru’ dengan cara menginvestasikan ke instrument yangs sesuai aturan Islam dan mengalokasikan untuk membantu peserta lain yang tertimpa musibah. Dengan konsep ini sesama peserta telah mengimplementasikan kegiatan tolong menolong, walaupun antara peserta tidak saling bertatap muka.

d.      Prinsip Amanah
Pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak dipertamggungjawabkan kepada Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam segala hal seperti mengelola dana premi dan proses klaim. Nasabah juga harus amanah dalam aspek risiko yang menimpanya. Nasabah tidak diperbolehkan untuk mengada-ada sesuatu yang seharusnya tidak dapat diklaimkan namun berusaha untuk menjadi klaim, dimana hal ini akan merugikan peserta yang lian. Perusahaan juga tidak boleh seenaknya dalam mengambil keuntungan  yang berdampak kerugian pada nasabah. Transaksi  yang amanah membawa pelakunya mendapatkan surga.

e.             Prinsip Saling Ridha (‘An Taradhin)
Aspek an taradhin atau saling meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan professional. Perusahaan asuransi syariah ridha terhadap amanah yang diberikan peserta untuk mengelola kontribusi (premi) peserta. Peserta ridha dananya dialokasikan untuk peserta-peserta lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling tolong menolong memiliki arti yang luas dan mendalam. Semua menolong dengan ikhlas dan ridha, bekerja dengan ikhlas dan ridha, serta bertransaksi dengan ikhlas dan ridha juga.

f.       Prinsip Menghindari Riba
Riba adalah mendapatkan keuntungan dengan cara menggunakan uang sebagai komoditas utamanya yang terdapat pada sistem bunga di bank atau bisnis pada lembaga keuangan konvensional. Riba dapat juga diartikan sebagai tambahan (ziyadah), tumbuh dan berkembang (usury). Islam melarang setiap muslim yang mencoba untuk meningkatkan modal mereka melalui pinjaman atas riba (berkembang atau bunga) baik itu pada rate yang rendah atau tinggi.

g.      Prinsip Menghindari Maisir
Arti secara harfiah kata maisir dalam bahasa Arab adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa bekerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja keras (Sula, 2004). Maisir bisa disamakan dengan kegiatan berjudi. Judi menunjukkan tindakan atau permainan yang bersifat untung-untungan/spekulatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi yang akan membawa dampak terjadinya praktik kepemilikan harta secara batil. Allah SWT sangat tegas melarang kegiatan perekonomian yang mengandung unsur perjudian.
Dengan konsep berbagi risiko (risk sharing) tidak ada salah satu pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan. Kondisi ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa jika peserta mendapatkan klaim, maka dana yang dibayarkan untuk klaim  tersebut adalah dana tabarru’ atau dana tolong menolong dari kumpulan peserta yang lain sehingga perusahaan tidak merasa dirugikan. Sementara itu jika tidak ada pembayaran klaim atau nilai klaim yang kecil kepada peserta, maka perusahaan juga tidak akan diuntungkan karena cadangan klaim tersebut tetap akan menjadi milik kelompok dana peserta tabarru’. Dengan demikian, unsur maisir atau judi tidak terkandung dalam konsep asuransi umum syariah.

h.      Prinsip Menghindari Gharar
      Gharar atau transakasi yang meragukan merupakan sifat dasar dari gambling dan dengan alasan itu di larang oleh Islam. Keraguan atau ketidakpastian transaksi akan menimbulkan ketidakadilan pada pihak-pihak yang terlibat.
Gharar diartikan sebagai ketidakjelasan, tipuan; transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan atau tipuan dari salah satu pihak, seperti bai’ ma’dum (jual beli sesuatu yang belum ada barangnya).
i.        Prinsip Menghindari Risywah
         Dalam menjalankan bisnis, baik pihak asuransi syariah maupun pihak peserta harus menjauhkan diri dari aspek risywah (sogok menyogok atau suap menyuap). Risywah pasti akan menguntungkan satu pihak dan aka nada pihak lain yang dirugikan, apapun dalihnya. Peserta tidak boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaat (klaim), dan sebaliknya, perusahaan tidak perlu menyuap supaya mendapatkan premi (kontribusi) asuransi. Semua harus dilakukan secara baik, transaparan, adil, dan dilandasi dengan ukhuwah islamiyah.

j.        Berserah Diri dan Ikhtiar
         Allah SWT memiliki dan menguasai atas seluruh harta kekayaan. Allah berhak penuh untuk memberikan rezekinya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah yang telah menetapkan seorang hamba menjadi kaya dan Dia pula yang memutuskan seorang menjadi miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah:255 dan 284, Al-Maidah:120, Thaha:6.
“Kita sebagai hamba Allah yang (khalifah di muka bumi) wajib memanfaatkan rizki yang telah dititipkan oleh-Nya untuk kemaslahatan (kemanfaatan) manusia. Oleh karena itu kita diwajibkan untuk saling tolong menolong dan bekerja sama.”
k.      Saling Bertanggung Jawab
         Seluruh peserta asuransi berjanji/berakad saling bertanggungjawab antara satu sama lain. Bagi setiap muslim, tanggung jawab merupakan suatu kewajiban. Rasa tanggung jawab ini timbul atas dasar sifat saling menyayangi , saling mencintai, saling membantu dan terdapat kepentingan bersama untuk mendapatkan kemakmuran bersama guna mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa dan harmonis. Dalam Islam, konsep seperti ini disebut dengan fardhu kifayah. Landasan prinsip saling bertanggungjawab adalah sebagai berikut.

“Setiap kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang di bawah tanggung jawabmu (HR. Bukhari dan Muslim)”
l.        Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan

Peserta asuransi satu sama lain saling melindungi dari kesusahan dan bencana karena keselamatan dan keamanan merupakan keperluan pokok bagi semua orang. Allah SWT berfirman dalam surat Quraisy mengenai pemberian janji keselamatan dari ancaman terhadap kelaparan dan bencana, dimana kelaparan merupakan keeprluan untuk jasmani sedangkan rasa ketakutan merupakan cerminan keperluan rohani. Pada prinsipnya tadhamun islami menyatakan bahwa yang kuat menjadi pelindung yang lemah, orang kaya melindungi orang miskin. Pemerintah menjadi pelindung terhadap kesejahteraan dan keamanan rakyatnya.
Sementara itu, pengelolaan asuransi konvensional menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.

a.      Insurable Interest

Prinsip ini menyatakan bahwa pihak-pihak yang ingin mengasuransikan (tertanggung) harus mempunyai hubungan keuangan dengan obyek yang dipertanggungkan, sehingga pada tertanggung timbul hak atau kepentingan atas obyek yang dipertanggungkan sehingga hubungan keuangan antara tertanggung dengan obyek pertanggungan menjadi sah menurut hukum yang berlaku. Apabila terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti tidak terdapat kepentingan keuangan atas obyek tersebut maka tertanggung tidak berhak menerima uang pertanggungan.

b.      Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)

Prinsip ini menyatakan bahwa tertanggung yang ingin mengasuransikan obyek pertanggungan harus mempunyai itikad yang sangat baik dalam berasuransi. Hal ini bermakna bahwa tertanggung harus secara sukarela menerangkn kondisi yang sebenar-benarnya berdasarkan fakta yang ada atas obyek yang akan dipertanggungkan tersebut kepada penanggung, sehingga penanggung memperoleh informasi secara lengkap dan benar mengenai kondisi obyek pertanggungan. Dan sebaliknya, penanggung berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan. Prinsip ini juga menjelaskan risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku sejak perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu saat kontrak disetujui, perpanjangan ataupun pada saat terjadi perubahan terhadap hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.
c.       Indemnity

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa dalam hal terjadi kerugian yang dijamin polis, maka penanggung berkewajiban mengembalikan posisi keuangan tertanggung seperti sesaat sebelum terjadinya kerugian. Prinsip ini menganut azaz keseimbangan dalam asuransi, maksudnya adalah siriko yang dialihkan kepada penanggung harus diimbangi dengan premi yang dibayar oleh tertanggung. Azas keseimbangan ini mempunyai arti penting, sebab bila terjadi kerugian, maka ganti rugi atas kerugian tersebut harus sebanding dengan risiko yang dialihkan kepada penanggung.

d.      Subrogation

Prinsip subrogation diatur dalam pasal 284 kitab Undang-undang Hukum Dagang yang berbunyi “apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian kepada tertanggung”. Dengan kata lain, apabila anda mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga maka pihak perusahaan asuransi, setelah memberikan ganti rugi kepada nasabah, akan menggantikan kedudukan nasabah dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Penggantian posisi semacam itu disebut subrogasi.

e. Contribution (Kontribusi)

Prinsip ini mengandung arti bahwa bila terjadi peratnggungan rangkap, yaitu tertanggung memiliki lebih dari satu polis atas obyek pertanggungan yang sama, maka dalam hal terjadinya kerugian, tertanggung tidak boleh menerima ganti rugi melebihi jumlah kerugian. Dengan kata lain, penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan untuk membauay kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.

f. Proximate Cause (kausa Proksimal)

Proximate Cause menyatakan bahwa dalam hal terjadinya suatu kerugian, maka penyebab dari kerugian tersebut haruslah merupakan suatu penyebab yang tidak terputus atau tidak di intervensi oleh penyebab lain. Dengan kata lain prinsip ini menekankan bahwa harus ada satu penyebab sominan yang efektif dalam menimbulkan suatu kerugian. Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien adalah “Unbroken Chain of Events” yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak terputus.
2.4 Keunggulan dan Kekurangan Asuransi Syariah
·         Kelebihan asuransi syariah/takaful
1.      Transparansi Pengelolaan Dana Peserta
Asuransi syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan serta aqad yang sesuai syariah, dana tabarru’ akan dikelola secara profesional oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi syar’i dengan berlandaskan prinsip syariah.
2.      Pengelolaan Dana Peserta secara Islami dengan menghindarkan Riba (Bunga),Maisir (Judi) dan Gharar (Ketidakjelasan)
3.      Asuransi Syariah menghindarkan dari fungsi asuransi konvensional yang mengandung Riba (Bunga) Maisir (Judi) dan Gharar (Ketidakjelasan). Dana Tabarru’ akan dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya musibah/bencana/klaim yang terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi syariah, dapat mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi tidak ada keraguan untuk berasuransi syari’ah.

·         Kelemahan Asuransi Syari’ah/takaful
1.      Asuransi syari’ah tidak bisa menginvestasikan dana yang terkumpul kedalam semua bentuk investasi (semabarang bentuk) harus sesuai persetujuan Dewan Pengawas Syari’ah pengawasan ini agaknya kurang bisa membuat keluasaan perusahaan dalam mencari keuntungan, yang mana ini mengakibatkan keuntungan asuransi akan terbatas hanya pada sebagian bidang saja, dan tentunya keuntungan pun kurang maksimal.
2.      Masih banyak masyarkat yang melirik kepada asuransi konvensional dari pada asuransi syari’ah.
3.      Asuransi syari’ah di Indonesia  baru muncul setelah Asuransi konvensional, yang mana ini menjadi fenomona tersendiri dari pandangan masyarakat bahwa asuransi syari’ah itu hanya plagiatan dari asuransi konvensional.
4.      Di asuransi syariah tidak semua bisa di asuransikan. Ini akan mengurangi jumlah peserta asuransi yang mana ada suatu pernyataan bahwa semakin banyak peserta asuransi maka akan semakin banyak pula keuntungan yang akan didapatkan oleh perusahaan.



PENUTUP

Kesimpulan
Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat ( non syariah ) bukan merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqih, karena tidak termasuk transaksi yang dikenal oleh fikih islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang membahas hukumnya.
1.    Pada transaksi asuransi tersebut terdapat ketidaktahuan dan ketidak pastian, dimana tidal diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat berakhirnya periode asuransi.
2.    Di dalamnya terdapat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang memberi polis asuransi membayar sejumlah kecil dana atau premi dengan harapan menedapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan dating, namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakikatnya transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba nasiah.
3.    Transaksi ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan dan perselisihan ketikas terjadinya musibah. Dimana masing – masing pihak berusaha melimpahkan kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut bisa berujung ke pengadialn.
4.    Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salah satu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung- untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua yarat yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.
Meliaht keempat hal diatas, dapat diaktakan bahwa transaksi dalam asuransi yang selama ini kita kenal, belum sesuai transaksi yang dikenal dalam fiqih islam. Asuransi syariah dengan prinsip taawunnya, dapat ditrima oleh masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun akhir ini.
Asuransi syariah dengan perjanjian diawal yang jelas dan transparan dengan akad yang sesuai syariah, dimana dana – dana dan premi asuransi yang terkumpul ( dana tabarru’ )akan dikelola secara professional oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi syarr’I dengan berlandaskan prinsip syariah.
Dan pada akhinya semua dana yang dikelola tersebut ( dana Tabarru’ ) nantinya akan dipergunakan untuk mengahdapidan mengantisipasi terjadinya musibah / bencana / klaim yang terjadi diantaar peserta asuransi. Melalui  asuransi syariah, kita mempersiapkan diri secara financial dengan tetap mempertahankan prinsip – prinsip transaksi yang sesuai denganfiqih islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS