“Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia”
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resiko
dimasa datang dapat terjadi terhadap kehidupan sesorang misalnya kematian,
sakit atau resiko dipecat dari pekerjaannya. Dalam dunia bisnis resiko yang
dihadapi dapat berupa resiko kerugian akibat kebakaran, kerusakan atau
kehilangan atau resiko lainnya. Oleh karena itu setiap resiko yang akan
dihadapi harus ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih
besar lagi.
Untuk
mengurangi resiko yang tidak diinginkan dimasa yang akan datang, seperti resiko
kehilangan, resiko kebakaran, resiko macetnya pinjaman kredit bank atau resiko
laiinnya, maka diprlukan perusahaan yang mau menanggung resiko tersebut. Adalah
perusahaan asuransi yang mau menanggung resiko yang akan dihadapi oleh
nasabahnya baik perorangan maupun badan usaha. Hal ini disebabkan perusahaan
asuransi merupakan perusahaan yang melakukan usaha pertanggung jawaban terhadap
resiko yang akan dihadapi oleh nasabahnya.
Dalam hal ini,
asuransi terbagi menjadi beberapa macam jenis. Salah satunya adalah Asuransi
Syariah. Asuransi Syariah tumbuh dan
berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah. Walaupun
demikian, banyak masyarakat yang belum memahami apa dan bagaimana asuransi Syariah
tersebut. Hal ini membutuhkan suatu informasi yang komprehensif untuk memberikan
pemahaman kepada khalayak umum agar tidak terdapat pemahaman yang keliru atas
asuransi Syariah. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara
menyeluruh tentang asuransi Syariah yang mencakup tentang sejarah asuransi Syariah
di dunia, perkembangan asuransi Islam di Indonesia, dan perbedaannya dengan
asuransi konvensional.
PEMBAHASAN
Tinjauan
Pustaka
2.1
Sejarah Asuransi Syariah
Kata
“asuransi” berasal dari bahasa Belanda ‘assurantie’ yang dalam hukum
Belanda disebut verzekering bermakna ‘pertanggungan’. Dari peristilahan assurantie,
kemudian muncul istilah assuradeur bagi ‘penanggung’ dan greassureerde
bagi’ tertanggung’. Dalam bahasa Inggris asuransi diistilahkan dengan insurance,
‘penanggung’ diistilahkan dengan insurer dan ‘tertanggung’ diistilahkan
dengan
insured.
Istilah
asuransi mulanya dikenal di Eropa Barat pada abad pertengahan berupa asuransi
kebakaran. Kemudian, pada abad ke-13 dan ke-14 terjadi peningkatan lalu lintas
perhubungan laut antar pulau sehingga berkembang pula asuransi pengangkutan
laut yang berasal dari Romawi. Jenis asuransi ini merupakan jenis asuransi
kapitalis. Asuransi ini dibentuk untuk mendapatkan laba dan didasarkan atas
perhitungan niaga. Asuransi jiwa baru dikenal pada awal abad ke-19.
Asal-usul
asuransi syariah berbeda dengan kemunculan asuransi konvensional seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Praktik bernuansa asuransi tumbuh dari budaya suku
Arab pada zaman Nabi Muhammad saw yang disebut aqilah. Al-Aqilah
mengandung pengertian saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga. Dalam
kasus terbunuhnya seorang anggota keluarga, ahli waris korban akan mendapatkan
uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh angota keluarga terdekat dari si
pembunuh yang disebut aqilah. Aqilah mengumpulkan dana secara
bergotong royong untuk membantu keluarga yang terlibat dalam perkara pembunuhan
yang tidak sengaja itu.
Dalam satu kasus tentang aqilah
ini, Nabi Muhammad saw pernah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra, yang artinya adalah sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah ra: “Berselisih
dua orang wanita dari suku Huzail,
kemudian salah satu wanita tersebut
melempar batu kepada wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita
tersebut beserta janin yang dikandungnya. Ahli waris dari wanita yang meninggal
tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw maka Rasulullah
memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin adalah dengan membebaskan
seorang budak laki-laki atau wanita. Dan kompensasi
atas kematian wanita tersebut dengan
uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua
laki-laki).’ (HR
Bukhari)
Praktik aqilah
ini pada zaman Rasulullah saw tetap diterima oleh masyarakat Islam dan menjadi
bagian dari hukum Islam. Terdapat kemungkinan seseorang secara tidak sengaja
mencelakai orang lain hingga meninggal dunia. Kemudian, keluarga orang tersebut
mengumpulkan dana untuk digunakan sebagai kompensasi finansial kepada ahli
waris korban sehingga masalah kecelakaan ini dianggap selesai antar keluarga.
Prinsip aqilah memang didasarkan kepada kejadian tidak disengaja atau
kekeliruan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang sehingga yang lain (aqilah)
menanggung beban kompensasi terhadap ahli waris korban. Beban kompensasi tidak
ditanggung oleh si pembuat kekeliruan.
Menurut
Buku Dictionary of Islam yang ditulis oleh Thomas Patrick jika
ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, maka pewaris
kurban akan dibayar sejumlah uang darah atau yang dikenal sebagai diyat.
Diyat ini digunakan sebagai kompensasi dari keluarga terdekat si pembunuh.
Al-aqila adalah denda sedangkan makna al’aqil adalah orang yang
membayar denda.. Beberapa ketentuan sistem aqilah yang merupakan bagian
dari asuransi sosial dituangkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam piagam Madinah
yang merupakan konstitusi pertama di dunia setelah hijrah ke Madinah. Pasal 3
Konstitusi Madinah menyebutkan bahwa orang Quraisy yang melakukan perpindahan
(ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama
membayar uang darah di antara mereka. Jika seorang anggota suku melakukan
pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan
memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan
keluarga pembunuh, yang disebut sebagai aqilah.
Praktik aqilah
tersebut memiliki kemiripan konsep dengan praktik asuransi Islam yang pertama
kali dibentuk. Praktik asuransi Islami berawal pada pendapat Dewan
Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Arab Saudi, yang menyetujui
adanya “asuransi koperatif”. Organisasi asuransi atas dasar koperatif dimotivasi
oleh sebab yang sama dan pada hakikatnya mengikuti perkembangan yang sama baik
di zaman modern, maupun di zaman kuno. Suatu Negara Islam seharusnya
menganjurkan pembentukan suatu industri asuransi yang dimotivasi oleh jiwa
koperatif karena gagasan koperatif diakui dalam Islam.
Dalam
sistem asuransi koperatif, para penyumbang dana asuransi adalah para dermawan,
dan sumbangan mereka adalah donasi, dengan tujuan menanggung kerugian yang
menimpa siapa saja dari para penyumbang itu secara bersama-sama. Kompensasi
yang diberikan bertalian dengan kerugian yang diderita dan bukan suatu jumlah
tertentu yang disetujui antara pengasuransi dan yang diasuransikan pada waktu
perjanjian dibuat.
Pada
dekade 70-an di beberapa Negara Islam atau di Negara-negara yang mayoritas
penduduknya penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya
mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsure yang
diharamkan Islam.
Pada
tahun 1979 “Faisal Islamic Bank of Sudan” mengambil prakarsa untuk
mendirikan Perusahaan Asuransi atas dasar koperatif yang bernama di Sudan.
Perusahaan tersebut mengasuransikan usaha berikut ini, kecuali asuransi jiwa.
1.
Asuransi Muatan Laut
2.
Asuransi Kapal
3.
Kebakaran dan Pencurian
4.
Penerbangan
5.
Kecelakaan Pribadi
6.
Rekayasa
7.
Ganti rugi para pekerja
Islamic Insurance Co. Ltd tersebut menyelenggarakan dua akun yang terpisah dan
berbeda yaitu akun pertama adalah akun pemegang polis dan akun kedua adalah
akun pemegang saham. Akun para pemegang polis dimasukkan dalam kredit beserta
semua iuran mereka, dengan mempertimbangkan perlindungan asuransi ditambah
dengan keuntungan yang diterima pada investasi sumbangannya, dan didebitkan
dengan proporsi beban jasa dan klaim. Kelebihan yang ada setelah menyiapkan
cadangan yang diperlukan, dibagikan di antara para pemegang polis, sebanding
dengan iuran yang mereka bayar. Para pemegang saham perusahaan tidak turut
serta dalam suatu bagian pun dari kelebihan akun pemegang polis itu. Pendapatan
yang diperolah dari investasi modal saja dikreditkan pada akun pemegang saham.
Bila ada kelebihan yang tersisa sesudah membayar bagian pengeluaran pemegang
saham untuk masa yang tertentu, maka kelebihan ini dapat dibagi antar pemegang
saham (Mannan, 1993).
Perusahaan tersebut telah membuat
banyak kemajuan dalam jangka waktu lima tahun dan telah mampu mendirikan
beberapa cabang di Arab Saudi yang bernama Islamic Insurance Co. Ltd dan
di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya
Dar al-Mal al-Islam di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful
Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983.
Syarikat Takaful Nerhad di Malaysia berdiri pada tahun 1984. Di Asia, asuransi
syariah pertama kali diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah
perusahaan asuransi jiwa bernama Takaful Malaysia, selanjutnya diikuti oleh
Negara-negara lain seperti Brunei, Singapura, dan Indonesia (Mannan, 1993).
2.2 Perkembangan Asuransi Syariah di
Indonesia
Keberadaan
usaha asuransi syariah tidak lepas dari keberadaan usaha asuransi konvensional
yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujud usaha perasuransian syariah sudah
terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah lama
berkembang. Atas dasar keyakinan umat Islam dunia dan manfaat yang diperoleh
melalui konsep asuransi syariah, maka lahirlah berbagai perusahaan asuransi
yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan
ini bukan saja dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan miliki non
muslim. Selain itu juga terdapat perusahaan induk dengan konsep konvensional
ikut memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cvabag atau unit
usaha syariah (UUS).
Perkembangan perusahaan asuransi berlandaskan Islam di
Indonesia terkait dengan beroperasinya bank syariah sehingga diperlukan
kehadiran jasa asuransi syariah. Perusahaan asuransi syariah pertama kali
didirikan pada tahun 1994 melalui PT Syarikat Takaful Indonesia (STI). PT STI
memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) dan PT
Asuransi Takaful Umum (ATU). Menurut data pemerintah BAPEPAM LK2
Kementrian Republik Indonesia, sampai dengan tanggal 31 Januari 2011, di
Indonesia terdapat 44 perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian syariah,
lima diantaranya merupakan asuransi syariah penuh (full Islamic insurance
system), yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK), PT Asuransi Takaful Umum
(ATU), dan PT Asuransi Syariah Mubarakah (ASM), PT Jaya Proteksi Takaful, dan
PT Asuransi Jiwa Al-Amin, sedangkan 37 unit asuransi syariah (UUS), dan tiga
perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah. Kondisi ini menunjukkan
bisnis asuransi syariah di Indonesia mulai ditekuni secara serius. Permintaan
asuransi syariah di masyarakat sudah meningkat yang dapat diartikan bahwa
masyarakat Indonesia sudah mulai terbiasa untuk bertransaksi dengan menggunakan
syariah Islami.
2.3
Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Perbedaan asuransi Islam dan
asuransi konvensional dikaji dalam tiga bagian yaitu perbedaan konsep
fundamental, perbedaan pengelolaan risiko, dan perbedaan prinsip-prinsip.
Berikut penjabaran dari masing-masing bagian perbedaan tersebut.
A. Perbedaan
Konsep Fundamental
Konsep fundamental asuransi syariah dan asuransi
konvensional adalah berbeda. Konsep tersebut perlu dikaji di awal karena jika
tidak dipahami konsep fundamental asuransi syariah maka konsep fundamental
asuransi syariah dianggap sama dengan asuransi konvensional. Konsep fundamental
yang diulas dalam makalah ini adalah pengertian atau definisi dan sistem
pengelolaan risiko dari kedua jenis asuransi tersebut.
Dewan
Syariah Nasional MUI menetapkan pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful,atau
tadhamun) sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui dana investasi dalam bentuk aset atau tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah (fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah). Berdasarkan fatwa DSN MUI tersebut
dapat diartikan bahwa konsep fundamental asuransi syariah adalah kegiatan
tolong menolong diantara peserta asuransi syariah dan tidak bertujuan komersil.
Sementara itu, konsep dasar asuransi konvensional adalah jual beli antara peserta
dan perusahaan. Hal ini dapat dipahami dari arti asuransi secara umum yang
berarti “jaminan”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata ‘asuransi’ adalah
‘pertanggungan’. Definisi standar asuransi dijelaskan dalam Undang-Undang No. 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bahwa asuransi adalah perjanjian antara
dua pihak atau lebih dengan pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa konsep fundamental
asuransi konvensional adalah jual beli antara peserta dengan perusahaan
asuransi.
B.
Perbedaan
Pengelolaan Risiko
Perbedaan
konsep dasar asuransi syariah dengan asuransi konvensional ini berakibat pada
perbedaan prinsip pengelolaan risiko. Prinsip pengelolan risiko asuransi
syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yaitu risiko ditanggung
bersama sesama peserta asuransi. Hal ini bisa dimaknai dari fatwa DSN MUI bahwa
asuransi syariah adalah kegiatan melindungi dan tolong-menolong di antara
sejumlah orang/pihak yang berarti risiko yang terjadi juga akan dibagi kepada
semua peserta asuransi syariah. Sementara itu prinsip pengelolaan risiko
asuransi konvensional adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu
prinsip risiko dengan cara mentransfer atau memindahkan risiko peserta asuransi
ke perusahaan asuransi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumanto dkk (2009) yang
menyatakan bahwa asuransi konvensional pada dasarnya merupakan konsep
pengelolaan risiko dengan cara mengalihkan risiko yang mungkin timbul dari
peristiwa tertentu yang tidak diharapkan kepada orang lain yang sanggup
mengganti kerugian yang diderita dengan imbalan premi (Sumanto dkk, 2009).
C.
Perbedaan
Prinsip-prinsip Pengelolaan Asuransi
Menurut Amrin (2011), pengelolaan asuransi syariah
menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a.
Prinsip Tauhid
Setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam
menjalankan segala aktivitas kehidupan, tidak terkecuali dalam berasuransi
syariah. Dimana dalam niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah
berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Jika
dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi syariah
bukanlah semata-mata meraih keuntungan dan peluang pasar namun lebih dari itu.
Niat awal adalah implementasi nilai syariah dalam dunia asuransi. Dari sisi
nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk
tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari
“perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, nilai tauhid
terimplementasi pada industri asuransi syariah.
b.
Prinsip Keadilan
Perusahaan asuransi memiliki peluang besar untuk melakukan
ketidakadilan, seperti adanya unsur dana hangus (untuk produk tabungan), karena
pembatalan kepesertaan di tengah jalan oleh nasabah. Pada asuransi syariah,
dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan
kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya. Bahkan beberapa
perusahaan asuransi syariah menyerahkan ke lembaga kesejahteraan umat seperti
lembaga zakat, infaq, dan shodaqah, ketika terdapat dana-dana saving nasabah
yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu
tidak mengambil dananya kendatipun telah dihubungi baik melalui surat maupun
media lainnya.
c.
Prinsip Tolong Menolong
Hakekat
konsep asuransi syariah adalah tolong menolong, dimana sesama peserta
bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan peserta lain yang tertimpa musibah.
Peserta tidak berderma kepada perusahaan asuransi, peserta berderma hanya
kepada sesame peserta saja. Perusahaan hanya berfungsi sebagai pengelola dana
tabarru, konsekuensinya perusahaan tidak berhak menggunakan dana tabarru’ atau
mengklaim bahwa dana tabarru’ adalah milik perusahaan. Perusahaan hanya
mendapatkan ujrah (fee) atas jasanya mengelola dana tabarru’
tersebut. Perusahaan asuransi mengelola dana tabarru’ dengan cara
menginvestasikan ke instrument yangs sesuai aturan Islam dan mengalokasikan
untuk membantu peserta lain yang tertimpa musibah. Dengan konsep ini sesama
peserta telah mengimplementasikan kegiatan tolong menolong, walaupun antara
peserta tidak saling bertatap muka.
d.
Prinsip Amanah
Pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak
dipertamggungjawabkan kepada Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam
segala hal seperti mengelola dana premi dan proses klaim. Nasabah juga harus
amanah dalam aspek risiko yang menimpanya. Nasabah tidak diperbolehkan untuk
mengada-ada sesuatu yang seharusnya tidak dapat diklaimkan namun berusaha untuk
menjadi klaim, dimana hal ini akan merugikan peserta yang lian. Perusahaan juga
tidak boleh seenaknya dalam mengambil keuntungan yang berdampak kerugian pada nasabah.
Transaksi yang amanah membawa pelakunya
mendapatkan surga.
e.
Prinsip Saling Ridha (‘An
Taradhin)
Aspek
an taradhin atau saling meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya
dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan professional.
Perusahaan asuransi syariah ridha terhadap amanah yang diberikan peserta untuk
mengelola kontribusi (premi) peserta. Peserta ridha dananya dialokasikan
untuk peserta-peserta lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban
penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling
tolong menolong memiliki arti yang luas dan mendalam. Semua menolong dengan
ikhlas dan ridha, bekerja dengan ikhlas dan ridha, serta
bertransaksi dengan ikhlas dan ridha juga.
f. Prinsip Menghindari Riba
Riba adalah
mendapatkan keuntungan dengan cara menggunakan uang sebagai komoditas
utamanya yang terdapat pada sistem bunga di bank atau bisnis pada lembaga
keuangan konvensional. Riba dapat juga diartikan sebagai tambahan (ziyadah),
tumbuh dan berkembang (usury). Islam melarang setiap muslim yang mencoba
untuk meningkatkan modal mereka melalui pinjaman atas riba (berkembang atau
bunga) baik itu pada rate yang rendah atau tinggi.
g.
Prinsip
Menghindari Maisir
Arti secara harfiah kata maisir dalam bahasa Arab adalah memperoleh sesuatu dengan sangat
mudah tanpa bekerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja keras (Sula,
2004). Maisir bisa disamakan dengan
kegiatan berjudi. Judi menunjukkan tindakan atau permainan yang bersifat
untung-untungan/spekulatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi
yang akan membawa dampak terjadinya praktik kepemilikan harta secara batil. Allah SWT sangat tegas melarang
kegiatan perekonomian yang mengandung unsur perjudian.
Dengan konsep berbagi risiko (risk sharing) tidak ada salah satu pihak
yang merasa diuntungkan atau dirugikan. Kondisi ini didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa jika peserta mendapatkan klaim, maka dana yang dibayarkan untuk
klaim tersebut adalah dana tabarru’ atau dana tolong menolong dari
kumpulan peserta yang lain sehingga perusahaan tidak merasa dirugikan.
Sementara itu jika tidak ada pembayaran klaim atau nilai klaim yang kecil kepada
peserta, maka perusahaan juga tidak akan diuntungkan karena cadangan klaim
tersebut tetap akan menjadi milik kelompok dana peserta tabarru’. Dengan demikian, unsur maisir atau judi tidak terkandung dalam konsep asuransi umum
syariah.
h.
Prinsip
Menghindari Gharar
Gharar atau transakasi yang meragukan merupakan sifat
dasar dari gambling dan dengan alasan
itu di larang oleh Islam. Keraguan atau ketidakpastian transaksi akan
menimbulkan ketidakadilan pada pihak-pihak yang terlibat.
Gharar diartikan sebagai
ketidakjelasan, tipuan; transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan atau tipuan dari salah satu pihak, seperti bai’ ma’dum (jual beli sesuatu yang
belum ada barangnya).
i.
Prinsip
Menghindari Risywah
Dalam menjalankan bisnis, baik pihak asuransi
syariah maupun pihak peserta harus menjauhkan diri dari aspek risywah (sogok
menyogok atau suap menyuap). Risywah pasti akan menguntungkan satu pihak dan
aka nada pihak lain yang dirugikan, apapun dalihnya. Peserta tidak boleh
menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaat (klaim), dan
sebaliknya, perusahaan tidak perlu menyuap supaya mendapatkan premi (kontribusi)
asuransi. Semua harus dilakukan secara baik, transaparan, adil, dan dilandasi
dengan ukhuwah islamiyah.
j.
Berserah
Diri dan Ikhtiar
Allah SWT memiliki dan menguasai atas seluruh harta
kekayaan. Allah berhak penuh untuk memberikan rezekinya kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Allah yang telah menetapkan seorang hamba menjadi kaya dan Dia
pula yang memutuskan seorang menjadi miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS
Al-Baqarah:255 dan 284, Al-Maidah:120, Thaha:6.
“Kita sebagai hamba Allah yang (khalifah di muka bumi) wajib
memanfaatkan rizki yang telah dititipkan oleh-Nya untuk kemaslahatan
(kemanfaatan) manusia. Oleh karena itu kita diwajibkan untuk saling tolong
menolong dan bekerja sama.”
k. Saling Bertanggung Jawab
Seluruh peserta asuransi berjanji/berakad saling
bertanggungjawab antara satu sama lain. Bagi setiap muslim, tanggung jawab
merupakan suatu kewajiban. Rasa tanggung jawab ini timbul atas dasar sifat
saling menyayangi , saling mencintai, saling membantu dan terdapat kepentingan
bersama untuk mendapatkan kemakmuran bersama guna mewujudkan masyarakat yang
beriman, takwa dan harmonis. Dalam Islam, konsep seperti ini disebut dengan
fardhu kifayah. Landasan prinsip saling bertanggungjawab adalah sebagai
berikut.
“Setiap
kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap
orang-orang yang di bawah tanggung jawabmu (HR. Bukhari dan Muslim)”
l.
Saling
Melindungi dan Berbagi Kesusahan
Peserta asuransi satu sama lain saling
melindungi dari kesusahan dan bencana karena keselamatan dan keamanan merupakan
keperluan pokok bagi semua orang. Allah SWT berfirman dalam surat Quraisy
mengenai pemberian janji keselamatan dari ancaman terhadap kelaparan dan
bencana, dimana kelaparan merupakan keeprluan untuk jasmani sedangkan rasa
ketakutan merupakan cerminan keperluan rohani. Pada prinsipnya tadhamun islami
menyatakan bahwa yang kuat menjadi pelindung yang lemah, orang kaya melindungi
orang miskin. Pemerintah menjadi pelindung terhadap kesejahteraan dan keamanan
rakyatnya.
Sementara itu, pengelolaan
asuransi konvensional menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a.
Insurable Interest
Prinsip ini menyatakan bahwa pihak-pihak yang ingin mengasuransikan
(tertanggung) harus mempunyai hubungan keuangan dengan obyek yang
dipertanggungkan, sehingga pada tertanggung timbul hak atau kepentingan atas
obyek yang dipertanggungkan sehingga hubungan keuangan antara tertanggung
dengan obyek pertanggungan menjadi sah menurut hukum yang berlaku. Apabila
terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti tidak terdapat
kepentingan keuangan atas obyek tersebut maka tertanggung tidak berhak menerima
uang pertanggungan.
b. Utmost
Good Faith (Kejujuran
Sempurna)
Prinsip ini menyatakan bahwa tertanggung yang ingin mengasuransikan
obyek pertanggungan harus mempunyai itikad yang sangat baik dalam berasuransi.
Hal ini bermakna bahwa tertanggung harus secara sukarela menerangkn kondisi
yang sebenar-benarnya berdasarkan fakta yang ada atas obyek yang akan
dipertanggungkan tersebut kepada penanggung, sehingga penanggung memperoleh
informasi secara lengkap dan benar mengenai kondisi obyek pertanggungan. Dan sebaliknya,
penanggung berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai
segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan. Prinsip
ini juga menjelaskan risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala
persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti. Kewajiban
untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku sejak perjanjian asuransi
dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu saat kontrak
disetujui, perpanjangan ataupun pada saat terjadi perubahan terhadap hal-hal
yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.
c.
Indemnity
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa dalam hal terjadi kerugian
yang dijamin polis, maka penanggung berkewajiban mengembalikan posisi keuangan
tertanggung seperti sesaat sebelum terjadinya kerugian. Prinsip ini menganut
azaz keseimbangan dalam asuransi, maksudnya adalah siriko yang dialihkan kepada
penanggung harus diimbangi dengan premi yang dibayar oleh tertanggung. Azas
keseimbangan ini mempunyai arti penting, sebab bila terjadi kerugian, maka
ganti rugi atas kerugian tersebut harus sebanding dengan risiko yang dialihkan
kepada penanggung.
d.
Subrogation
Prinsip subrogation diatur dalam pasal 284
kitab Undang-undang Hukum Dagang yang berbunyi “apabila seorang penanggung
telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan
menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga
yang telah menimbulkan kerugian kepada tertanggung”. Dengan kata lain, apabila
anda mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga maka pihak
perusahaan asuransi, setelah memberikan ganti rugi kepada nasabah, akan menggantikan
kedudukan nasabah dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.
Penggantian posisi semacam itu disebut subrogasi.
e. Contribution
(Kontribusi)
Prinsip ini mengandung arti bahwa bila terjadi peratnggungan
rangkap, yaitu tertanggung memiliki lebih dari satu polis atas obyek
pertanggungan yang sama, maka dalam hal terjadinya kerugian, tertanggung tidak
boleh menerima ganti rugi melebihi jumlah kerugian. Dengan kata lain,
penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka
penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu
pertanggungan untuk membauay kerugian masing-masing yang besarnya sebanding
dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.
f. Proximate
Cause (kausa
Proksimal)
Proximate Cause menyatakan bahwa dalam hal
terjadinya suatu kerugian, maka penyebab
dari kerugian tersebut haruslah merupakan suatu penyebab yang tidak terputus
atau tidak di intervensi oleh penyebab lain. Dengan kata lain prinsip ini
menekankan bahwa harus ada satu penyebab sominan yang efektif dalam menimbulkan
suatu kerugian. Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian
yang aktif dan efisien adalah “Unbroken
Chain of Events” yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak
terputus.
2.4 Keunggulan dan Kekurangan
Asuransi Syariah
·
Kelebihan asuransi syariah/takaful
1.
Transparansi
Pengelolaan Dana Peserta
Asuransi syariah
dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan serta aqad yang sesuai
syariah, dana tabarru’ akan dikelola secara profesional oleh perusahaan
asuransi syariah melalui investasi syar’i dengan berlandaskan prinsip syariah.
2.
Pengelolaan Dana
Peserta secara Islami dengan menghindarkan Riba (Bunga),Maisir (Judi) dan
Gharar (Ketidakjelasan)
3.
Asuransi Syariah
menghindarkan dari fungsi asuransi konvensional yang mengandung Riba (Bunga)
Maisir (Judi) dan Gharar (Ketidakjelasan). Dana Tabarru’ akan dipergunakan
untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya musibah/bencana/klaim yang
terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi syariah, dapat
mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip
transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi tidak ada keraguan untuk
berasuransi syari’ah.
·
Kelemahan Asuransi Syari’ah/takaful
1.
Asuransi
syari’ah tidak bisa menginvestasikan dana yang terkumpul kedalam semua bentuk
investasi (semabarang bentuk) harus sesuai persetujuan Dewan Pengawas Syari’ah
pengawasan ini agaknya kurang bisa membuat keluasaan perusahaan dalam mencari
keuntungan, yang mana ini mengakibatkan keuntungan asuransi akan terbatas hanya
pada sebagian bidang saja, dan tentunya keuntungan pun kurang maksimal.
2.
Masih banyak
masyarkat yang melirik kepada asuransi konvensional dari pada asuransi syari’ah.
3.
Asuransi
syari’ah di Indonesia baru muncul setelah Asuransi konvensional, yang
mana ini menjadi fenomona tersendiri dari pandangan masyarakat bahwa asuransi
syari’ah itu hanya plagiatan dari asuransi konvensional.
4.
Di asuransi
syariah tidak semua bisa di asuransikan. Ini akan mengurangi jumlah peserta
asuransi yang mana ada suatu pernyataan bahwa semakin banyak peserta asuransi
maka akan semakin banyak pula keuntungan yang akan didapatkan oleh perusahaan.
PENUTUP
Kesimpulan
Asuransi yang selama ini digunakan
oleh mayoritas masyarakat ( non syariah ) bukan merupakan asuransi yang dikenal
oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqih, karena tidak termasuk transaksi
yang dikenal oleh fikih islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang
membahas hukumnya.
1. Pada
transaksi asuransi tersebut terdapat ketidaktahuan dan ketidak pastian, dimana
tidal diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat
berakhirnya periode asuransi.
2. Di
dalamnya terdapat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana
seseorang yang memberi polis asuransi membayar sejumlah kecil dana atau premi
dengan harapan menedapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan dating,
namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakikatnya transaksi ini
adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang
dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba
nasiah.
3. Transaksi
ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan dan perselisihan
ketikas terjadinya musibah. Dimana masing – masing pihak berusaha melimpahkan
kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut bisa berujung ke pengadialn.
4. Asuransi
ini termasuk jenis perjudian, karena salah satu pihak membayar sedikit harta
untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung- untungan atau
tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua yarat yang
dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.
Meliaht keempat hal diatas, dapat
diaktakan bahwa transaksi dalam asuransi yang selama ini kita kenal, belum
sesuai transaksi yang dikenal dalam fiqih islam. Asuransi syariah dengan
prinsip taawunnya, dapat ditrima oleh masyarakat dan berkembang cukup pesat
pada beberapa tahun akhir ini.
Asuransi syariah dengan perjanjian diawal yang jelas dan
transparan dengan akad yang sesuai syariah, dimana dana – dana dan premi
asuransi yang terkumpul ( dana tabarru’ )akan dikelola secara professional oleh
perusahaan asuransi syariah melalui investasi syarr’I dengan berlandaskan
prinsip syariah.
Dan pada akhinya semua dana yang
dikelola tersebut ( dana Tabarru’ ) nantinya akan dipergunakan untuk
mengahdapidan mengantisipasi terjadinya musibah / bencana / klaim yang terjadi
diantaar peserta asuransi. Melalui asuransi syariah, kita
mempersiapkan diri secara financial dengan tetap mempertahankan prinsip –
prinsip transaksi yang sesuai denganfiqih islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar